Raden Mas Soerjapranata
Raden Mas Soerjapranata (Ejaan Soewandi: Suryapranata, atau sering ditulis Soerjopranoto) (lahir di Pakualaman, 11 Januari 1871 – meninggal di Tjimahi, 15 Oktober 1959 pada umur 88 tahun) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-3 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 310 Tahun 1959, tanggal 30 November 1959). Ia dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.
Latar Belakang dan Pendidikan
Soerjopranoto, dengan nama kecil Iskandar, adalah kakak Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Secara genealogis, Soerjopranoto adalah seorang bangsawan. Ia adalah putra sulung dari Kangjeng Pangeran Harya (KPH) Surjaningrat, yang mana sang ayah sendiri adalah putra tertua dari Pakualam III. Ini berarti Surjopranoto adalah anak laki-laki pertama dari seorang putra mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan.
Iskandar, sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya "disamakan" dengan kalangan bangsa Eropa. Dengan statusnya itulah ia bisa masuk Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS, Soerjopranoto mengambil Klein Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang kurang lebih setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang setara dengan SMP.
Lulus dari kursus tersebut, Soerjopranoto diterima menjadi pegawai kantor pemerintahan kolonial di Toeban. Ia akhirnya dipecat dari pekerjaan tersebut karena menempeleng seorang pejabat kolonial berkulit putih.
Sekembalinya dari Toeban, Soerjopranoto langsung diangkat sebagai wedana sentana di Praja Pakualaman dengan pangkat panji. Jabatan itu kurang lebih sama dengan kepala bagian administrasi istana.
Pada tahun 1900, Soerjopranoto mendirikan sebuah organisasi bernama Mardi Kaskaya. Sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kerabat Pakualaman. Mardi Kaskaya kurang lebih mirip sebuah koperasi simpan-pinjam. Pada akhir tahun 1901, Soerjopranoto mendirikan sebuah klub pertemuan dengan nama Societeit Soetrohardjo. Klub ini kurang lebih merupakan sebuah perpustakaan yang sangat sederhana. Dalam klub ini, orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti surat kabar dan majalah.
Sehubungan dengan keberadaan Mardi Kaskaya, ruang gerak rentenir semakin berkurang. Mereka sering menemui umpatan dan cacian ketika keluar masuk kampung-kampung. Akibatnya, konflik terbuka sering terjadi. Insiden-insiden tersebut dianggap oleh pejabat kolonial sebagai gangguan ketentraman umum karena keberadaan Mardi Kaskaya dengan Soerjopranoto sebagai pendirinya. Oleh karena itulah pejabat kolonial "menyekolahkan" Soerjopranoto ke MLS (Middelbare Landbouw School = Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor.
Perjuangan
Pangeran Soerjopranoto dan juga bangsawan-bangsawan lainnya di Praja Pakualaman, umumnya tidak pernah menyembunyikan kenyataan sejarah, bahwa di dalam tubuh kerabat Pakualaman itu, terutama Sri Pakualam II telah mengalir darah rakyat jelata yang segar yang berasal dari seorang petani di desa Sewon, Bantul, Yogyakarta, yang bernama Ranadigdaya.
Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam perjuangan melawan Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada Pangeran Mangkubumi, adik Sunan Pakubuwana II. Sebab itu kepadanya dijanjikan kedudukan yang baik, apabila pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan kemenangan.
Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ranadigdaya pada kedudukannya sebagai prajurit.
Karena sakit hati, maka Ranadigdaya meninggalkan istana tanpa pamit dan kemudian mendirikan perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan kemudian beranak tiga orang, yaitu : Prawiranata, Prawiradirdja, dan seorang anak perempuan, Sedhah Mirah (Sirih Mirah).
Di kemudian hari, sang putera mahkota, yang nantinya menjadi Sultan Hamengkubuwana II, yang belum tahu menahu asal usul Sedhah Mirah, telah jatuh cinta kepada gadis desa itu. Maka tanpa sengaja setelah mereka menikah, Ranadigdaya terangkat dengan sendirinya kepada kedudukan yang mulia, sebagai besan Sultan Hamengkubuwana I.
Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik tahta menjadi Sultan Hamengkubuwana II, dan Sedhah Mirah diangkat menjadi permaisuri, bergelar Gusti Kangjeng Ratu Kencana Wulan. Dari permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan empat orang anak, puteri semua, dan tiga dari keempat putri tersebut diperistri oleh bangsawan-bangsawan yang memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah. Yang pertama adalah GKR Ayu, menjadi permaisuri Sri Pakualam II dan menjadi asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional Soerjopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Yang kedua, GKR Anom, diperistri oleh KPH Purwanegara, bupati Madiun, lalu yang ketiga, GKR Timur, diperistri oleh KPH Natakusuma, putra Sri Pakualam I. Yang terakhir adalah GKR Sasi, diperistri oleh Patih Yogyakarta, Kangjeng Raden Adipati Danureja III.
Asal-usul keluarga
Soerjopranoto dilahirkan di lingkungan Kadipaten Pakualaman, tanggal 11 Januari 1871, sebagai putra tertua dari KPH Soerjaningrat, putra sulung Sri Pakualam III (yang tidak dapat menjadi Pakualam IV karena sakit penglihatan).
Istrinya bernama Djauharin Insjiah, putri almarhum Kyai Haji Abdussakur, Penghulu (Landraad) agama Islam, dari Karanganyar, Banyumas, telah wafat terlebih dahulu tahun 1951 pada usia 67 tahun.
Selain disekolahkan, Soerjopranoto mendapat didikan di rumah tentang budi pekerti, dan sesuai dengan adat pusaka kebangsawanan, ia diwajibkan mengerti dan memahami sen itari, karawitan, kesusastraan (membuat puisi Jawa yang dilagukan atau tembang). Menjelang dewasa, mulailah Soerjopranoto mempelajari soal ketatanegaraan, perekonomian, kemasyarakatan, sejarah, keTuhanan dan lain sebagainya. Perpustakaannya meliputi kurang lebih 3500 buku tentang berbagai ilmu pengetahuan. Dia kemudian berhasil mendapat ijasah Klein Ambtenaar.
Karena dipandang terlalu "lastig" (membuat onar) di dalam masyarakat Yogyakarta atas usaha asisten residen, ia "dibuang" ke Tuban, Gresik sebagai pegawai di Controleurs-Kantoor. Di sini ia membela teman pegawainya hingga menempeleng atasannya (seorang Belanda). Ia minta berhenti dan segera pulang kembali ke Yogyakarta. Untuk menghindari tindakan hukum pemerintah Hindia Belanda atas dirinya, pamannya, Pangeran Sasraningrat, yang berpangkat gusti wakil, mengangkatnya menjadi wedana sentana dengan titel panji di Praja Pakualaman.
Karena masih dianggap sebagai "pengganggu", asisten residen "membuang" ia ke Bogor dengan alasan disekolahkan pada Sekolah Pertanian (Europesche Afdeling) dengan surat tugas langsung ditandatangani Gubernur Jenderal sebagai "izin istimewa". Disini ia tinggal di rumah orang Belanda bernama van Hinllopen Laberton yang menganut ajaran teosofi yang membenci penjajahan dan perbedaan hak bangsa-bangsa. Soerjopranoto merasa menemukan sahabat, guru, kawan, dan orangtua sekaligus. Pada tahun 1907 ia berhasil mendapat ijasah Landbouwkundige dan Landbouw-leraar.
Disamping itu ia memahirkan diri dalam bela diri yaitu kuntau dan toya dari seorang Tionghoa asal Kanton.
Pada masa ini ketika ayahnya menugaskan dia mengurus adiknya, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk Sekolah Dokter Stovia di Jakarta ia menitipkan surat pada adiknya dengan ajakan atas nama pemuda masyarakat dan pelajar-pelajar Bogor kepada student Stovia untuk mendirikan perkumpulan "Pirukunan Jawi" yang boleh dianggap sebagai voorloper (pendahulu) dari ide mendirikan "Boedi Oetomo". Tapi ajakannya itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan.
Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 ia dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo, Dieng, Batus dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau berkedudukan di Kejajar Garung kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus merangkap juga pekerjaan memimpin sekolah pertanian.
Berhubung ada kejadian di Parakan (Temanggung) pada tahun 1914, dimana seorang asisten wedana, yang anggota Sarekat Islam, dipecat dari pekerjaannya karena keanggotaannya itu, maka ia sebagai pembela keadilan dengan protes keras menyobek-nyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan melemparkannya bersama bundelan kunci di hadapan residen Belanda atasannya sambil kontan minta berhenti.
Selanjutnya ia bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintah penjajah Belanda untuk selama-lamanya, dan memberikan seluruh tenaga dan pikirannya pada perjuangan pergerakan politik menentang penjajahan.
Aktivitas dalam Pergerakan
Soerjopranoto pada zaman pergerakan politik aktif dalam beberapa pergerakan antara lain:
Boedi Oetomo
Sepulangnya ke Yogyakarta pada tahun 1908 ia menggabungkan diri pada perkumpulan "Boedi Oetomo". Segera ia diangkat menjadi Sekretasis Pengurus Besar Boedi Oetomo berkedudukan di Yogyakarta (periode setelah Dwidjosewojo).
Perasuransian Jiwa O.L.Mij Boemi Poetera (awalnya Onderlonge Levensverzekering Maatschappij PGHB)
Dalam periode ini untuk mendirikan Maskapai Asuransi Jiwa dikemukakan oleh Pak Dwidjosewojo dalam Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta akhir tahun 1910.
Kongres menerimanya dengan aklamasi tetapi pelaksanaannya tertunda-tunda. Kemudian pada permulaan tahun 1912 Pak Dwidjosewojo mengemukakan ide itu kepada Kongres Perserikatan Guru-Guru Hindia Belanda (PGHB) di Magelang. Usul itu diterima dengan gembira pada tanggal 12 Februari 1912, Dengan nama "Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB". Karena beratnya biaya, sedang verzekerden belum banyak yang masuk, maka pengurus mengajukan permohonan supaya diberi subsidi sebesar F 300 (tigaratus gulden) dengan syarat bahwa Maskapai hanya dibuka untuk pegawai negeri bangsa bumi putera. Dewan Komisaris pada masa itu dibentuk yang terdiri dari R.M. Dwidjosewojo, R. Sastrowidjono, R.M. Soerjopranoto dan Dr. R. Soestandar yang tidak menerima honorarium apa-apa. Seka itu namanya diubah menjadi O.L.Mij Bumi Putera.
Barisan Kerja (=Arbeids leger) Adhi Dharma
Tidak puas bergerak dalam Boedi Oetomo karena tidak bersifat kerakyatan dan tidak revolusioner, ia minta diri keluar setelah usulnya untuk mendinamisir menjadi pergerakan rakyat ditolak.
Soerjopranoto tidak tinggal diam, ia memperluas aktivitasnya sendiri langsung dikalangan rakyat jelata dengan mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (Barisan Kerja A.D) Pada tahun 1915 di Yogyakarta yang organisasinya disusun seperti di dalam ketentaraan ("eenstrijdend leger") sampai kepelosok-pelosok dusun, di lereng-lereng dan di puncak-puncak gunung ada wakil-wakilnya.
Anggotanya diberi pangkat seperti dalam kemiliteran. Adhi Dharma (=kebaktian yang luhur) bergerak di ekonomi. Usaha-usahanya a.l : meliput tabungan, koperasi pertukangan, pendidikan, kesehatan perbantuan nasihat hukum dan kesemua usahanya didasarkan atas gotong royong.
Selain itu ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat umum (rakyat kecil pada khususnya) yaitu S.R.-S.M.P.-Sekolah Guru-Schakel-School.
Kegiatannya yang lain adalah mengadakan ceramah-ceramah/diskusi-diskusi tentang soal-soal kemasyarakatan dan pergerakan. Hasilnya antara lain timbulnya Yong Islamieten Bond dengan ketuanya Sjamsuridjal yang adalah adik bungsu dari ibu Soerjopranoto, yang dikemudian hari menjadi walikota (Gubernur) pertama Jakarta.
Beberapa usahanya yang lain antara lain mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf dan kerajinan tangan bagi kaum wanita yang diadakan pada tiap sore hari Jumat khusus untuk menampung wanita-wanita desa (luar kota) yang pulang dari berdagang di pasar.
Dia juga membuka biro-biro penasihat hukum, khusus diperuntukkan bagi orang-orang desa, yang ketika itu kurang terpelajar, sehingga mudah ditipu dan diperlakukan sewenang-wenang oleh para pegawai Pangreh-praja. Pada masa ini ia menerbitkan buku "Pemimpin Landraad Civiel" yang berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Untuk membantu rakyat umum, didirikan koperasi gotong-royong dengan nama "Mardi Kaskoyo" yang terbuka bagi para keluarga kaum pergerakan dan rakyat umum.
Selain itu ia mendirikan penerbitan penyuluhan "Medan Budiman". Dalam periode Adhi Dharma pada menerbitkan buku kecil berjudul " kekuatan bathin" (de kracht die overwint).
Karena pertumbuhan Adi Dharma pesat dan besar luas pengaruhnya, lagi terang-terangan aksi-aksinya dalam membela keadilan terhadap kesewenang-wenangan alat-alat pemerintah Hindia Belanda sampai mirip suatu aksi politik, maka arbeidsleger Adhi Dharma dilarang, kantor-kantor Markas Besarnya dijaga polisi untuk mencegah dan menakut-nakuti anggota-anggotanya berkunjung, para pengurusnya dibayangi oleh dinas reserse polisi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada pokoknya Barisan Kerja Adhi Dharma kena pukulan yang hebat bagi semua badan-badan pendirinya. Akan tetapi B.K.A.D bagaimanapun juga telah berhasil :
baca buku karangan Prof. Pringgodigdo berjudul : " Sejarah pergerakan Politik".
Partai Sarikat Islam
Ia masuk Partai Sarekat Islam pada tahun 1911 dan karena keaktifannya segera menjadi anggota Pucuk Pimpinan. Begitu aktif, tangkas dan beraninya, sehingga ia menduduki tempat sebagai pembantu Tjokroaminoto yang utama. Soerjopranoto menjadi orang kedua di dalam partai. Dalam kursus-kursus partai yang secara periodik diselenggarakan di jalan Kepatihan Pakualaman Yogyakarta, ia adalah seorang gurunya. Menurut Hamka, yang memberikan pelajaran ialah H. Fachruddin, Soerjopranoto (dalam ilmu Sosiologi) dan Tjokroaminoto (Sosialisme dan Islam).
Dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919 Soerjopranoto mengemukakan, bahwa kemenangan klas dan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata tetapi bisa secara moral, protes-protes, dan jika perlu dengan "pemogokan", kesemua itu harus dilakukan secara serentak. Soerjopranoto dikemudian hari memimpin suatu pemogokan umum dikalangan kaum pekerja pabrik-pabrik gula yang bergabung dalam Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia pada tahun 1917 P.F.B. ( Personeel Fabrieks Bond) di jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan ini yang pertama kali pada tanggal 20 Agustus 1920 di pabrik gula madu Kismo. Dengan perbuatan ini Soerjopranoto melaksanakan teori pada praktiknya. Pemogokan ini begitu luas dan hebat sehingga oleh " De Express" ia disebut "De stakings Koning" (=Raja Pemogokan). Yang dihadapi sebagai lawan pada waktu itu adalah P.E.B. (Politiek Economische Bond) dibawah pimpinan Engelenberg dan Brugers (kumpulannya Tuan-Tuan Pabrik).
Sebagai ide tentang bentuk ketatanegaraan telah dikemukakan pula dalam kongres tersebut. Suatu sentral Serikat Sekerja yang terdiri dari buruh dan buruh tani akan menjadi "Eerste Kamer" dari perwakilan rakyat,sedang "Tweede Kamer"nya merupakan perwakilan partai-partai politik. Kedua Kamer ini yang akan merupakan "Dewan Rakyat" yang sesungguhnya, yang akan dapat mempersatukan tenaga untuk beraksi menentang modal dari penjajah asing.
Ketika pada tahun 1908 Dr. E.F.E.Douwes Dekker (1879-1950) seorang indi yang berayah Belanda dan ibu Jawa, berhasil menggeser kedudukan Zaalberg (Hoofd-redakteur yang reaksioner) menjadi pemimpin redaksi dari "Bataviaasch-Nieuwsblad" maka ia segera memasukkan pembantu-pembantu tetapnya, orang-orang pergerakan seperti Soerjopranoto, Tjokrodirdjo, Dr. Tjipto dan Goenawan Mangunkusumo dan lain lain.
Ini dalah suatu infiltrasi yang amat efektif dan merupakan jasa pertama dari Dr. E.F.E. douwes Dekker (alias Danudirdja Setiabudhi), seorang kerabat jauh E. Douwes Dekker (Multatuli).
Sesuai dengan rencana perjuangan SI maka didirikanlah perhimpunan-perhimpunan buruh. Program ini menjadi tanggung jawab Soerjopranoto dan ia pun menjadi pemimpin :
Semaun : Soerjopranoto bukan anggota P.K.I (Semaun adalah pendiri P.K.I tetapi kemudian keluar dan mendirikan Partai Murba).
H. Van Kol : (Catatan dalam sebuah buku "De vak - vereniging") "Dit boek over de Vakvereniging Aangeboden door iemand, die ten volle sympathiseert men Uw streven het Lot der misbedeelden te verzachten - 5 Januari 1923. "Soerjopranoto.........een intensief, werkzaam en dadenrijk leven". Artinya, "Buku tentang pergerakan vak ini dipersembahkan padamu, oleh seorang yang menaruh simpati dengan perjuanganmu guna meringankan nasib rakyat yang dalam segala0galanya serba kekurangan dalam hidupnya. Voorschtenwijk 5 Januari 1923. Soerjopranoto........seorang yang intensif, bekerja keras dan hidupnya penuh dengan tindakan (Terjemahan penyusun).
K.H. Agus Salim : Hij is opliegend vanwege de reinheid zijner gedachten. (Dia cepat naik pitam karena kemurnian pikirannya). Bersama KH. Agus Salim, Soerjopranoto menjadi saah seorang pemimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang berpusat di Yogyakarta.
Zaalberg (redaktur Bataviaasch Niewsblad) : Dia meberi julukan untuk Soerjopranoto "de Javaanse Edelman met een ontembare wil" (bangsawan Jawa dengan tekad yang tak terjinakkan).
Pemerintah Belanda kewalahan menghadapi Soerjopranoto yang telah 3 kali dipenjara belum juga berkurang perlawanannya, akhirnya mereka mencoba menawarkan kedudukan yang tinggi sebagai anggota Volksraad melalui surat dari Meneer Resink. Soerjopranoto tertawa terbahak-bahak dan langsung membalas sebagai berikut :
"Waarde Heer Resink"
De strijd gat mij eerst om de harde klappen. Politieke tegenstellingen worden voorlopig nog op straat uitgevochten (Ia menolak duduk sebagai anggota).
Sesobek kertas yang isinya kutipan dicatat dari buku "Strijden en worstelen om de overwinning" isi seperti berikut : "In strijd of in Zaken, in alles wat gij doet, gelde een regel, als goud, ja zo gaat het de worsteling om macht wees dat uw motto : 'Vertrouw Uw eigen kracht'". Artinya : di dalam pergolakan atau sesuatu urusan, dalam segala hal yang kau perbuat, berlaku satu dasar, bagaikan emas, demikian tinggi nilainya, di dalam berjuang untuk sukses atau kekuasaan ini adalah semboyannya : "Percaya pada kekuatan diri sendiri" (terjemahan penyusun)
Raden Mas Soerjapranata |
Soerjopranoto, dengan nama kecil Iskandar, adalah kakak Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Secara genealogis, Soerjopranoto adalah seorang bangsawan. Ia adalah putra sulung dari Kangjeng Pangeran Harya (KPH) Surjaningrat, yang mana sang ayah sendiri adalah putra tertua dari Pakualam III. Ini berarti Surjopranoto adalah anak laki-laki pertama dari seorang putra mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan.
Iskandar, sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya "disamakan" dengan kalangan bangsa Eropa. Dengan statusnya itulah ia bisa masuk Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS, Soerjopranoto mengambil Klein Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang kurang lebih setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang setara dengan SMP.
Lulus dari kursus tersebut, Soerjopranoto diterima menjadi pegawai kantor pemerintahan kolonial di Toeban. Ia akhirnya dipecat dari pekerjaan tersebut karena menempeleng seorang pejabat kolonial berkulit putih.
Sekembalinya dari Toeban, Soerjopranoto langsung diangkat sebagai wedana sentana di Praja Pakualaman dengan pangkat panji. Jabatan itu kurang lebih sama dengan kepala bagian administrasi istana.
Pada tahun 1900, Soerjopranoto mendirikan sebuah organisasi bernama Mardi Kaskaya. Sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kerabat Pakualaman. Mardi Kaskaya kurang lebih mirip sebuah koperasi simpan-pinjam. Pada akhir tahun 1901, Soerjopranoto mendirikan sebuah klub pertemuan dengan nama Societeit Soetrohardjo. Klub ini kurang lebih merupakan sebuah perpustakaan yang sangat sederhana. Dalam klub ini, orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti surat kabar dan majalah.
Sehubungan dengan keberadaan Mardi Kaskaya, ruang gerak rentenir semakin berkurang. Mereka sering menemui umpatan dan cacian ketika keluar masuk kampung-kampung. Akibatnya, konflik terbuka sering terjadi. Insiden-insiden tersebut dianggap oleh pejabat kolonial sebagai gangguan ketentraman umum karena keberadaan Mardi Kaskaya dengan Soerjopranoto sebagai pendirinya. Oleh karena itulah pejabat kolonial "menyekolahkan" Soerjopranoto ke MLS (Middelbare Landbouw School = Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor.
Perjuangan
Pangeran Soerjopranoto dan juga bangsawan-bangsawan lainnya di Praja Pakualaman, umumnya tidak pernah menyembunyikan kenyataan sejarah, bahwa di dalam tubuh kerabat Pakualaman itu, terutama Sri Pakualam II telah mengalir darah rakyat jelata yang segar yang berasal dari seorang petani di desa Sewon, Bantul, Yogyakarta, yang bernama Ranadigdaya.
Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam perjuangan melawan Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada Pangeran Mangkubumi, adik Sunan Pakubuwana II. Sebab itu kepadanya dijanjikan kedudukan yang baik, apabila pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan kemenangan.
Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ranadigdaya pada kedudukannya sebagai prajurit.
Karena sakit hati, maka Ranadigdaya meninggalkan istana tanpa pamit dan kemudian mendirikan perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan kemudian beranak tiga orang, yaitu : Prawiranata, Prawiradirdja, dan seorang anak perempuan, Sedhah Mirah (Sirih Mirah).
Di kemudian hari, sang putera mahkota, yang nantinya menjadi Sultan Hamengkubuwana II, yang belum tahu menahu asal usul Sedhah Mirah, telah jatuh cinta kepada gadis desa itu. Maka tanpa sengaja setelah mereka menikah, Ranadigdaya terangkat dengan sendirinya kepada kedudukan yang mulia, sebagai besan Sultan Hamengkubuwana I.
Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik tahta menjadi Sultan Hamengkubuwana II, dan Sedhah Mirah diangkat menjadi permaisuri, bergelar Gusti Kangjeng Ratu Kencana Wulan. Dari permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan empat orang anak, puteri semua, dan tiga dari keempat putri tersebut diperistri oleh bangsawan-bangsawan yang memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah. Yang pertama adalah GKR Ayu, menjadi permaisuri Sri Pakualam II dan menjadi asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional Soerjopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Yang kedua, GKR Anom, diperistri oleh KPH Purwanegara, bupati Madiun, lalu yang ketiga, GKR Timur, diperistri oleh KPH Natakusuma, putra Sri Pakualam I. Yang terakhir adalah GKR Sasi, diperistri oleh Patih Yogyakarta, Kangjeng Raden Adipati Danureja III.
Asal-usul keluarga
Soerjopranoto dilahirkan di lingkungan Kadipaten Pakualaman, tanggal 11 Januari 1871, sebagai putra tertua dari KPH Soerjaningrat, putra sulung Sri Pakualam III (yang tidak dapat menjadi Pakualam IV karena sakit penglihatan).
Istrinya bernama Djauharin Insjiah, putri almarhum Kyai Haji Abdussakur, Penghulu (Landraad) agama Islam, dari Karanganyar, Banyumas, telah wafat terlebih dahulu tahun 1951 pada usia 67 tahun.
Selain disekolahkan, Soerjopranoto mendapat didikan di rumah tentang budi pekerti, dan sesuai dengan adat pusaka kebangsawanan, ia diwajibkan mengerti dan memahami sen itari, karawitan, kesusastraan (membuat puisi Jawa yang dilagukan atau tembang). Menjelang dewasa, mulailah Soerjopranoto mempelajari soal ketatanegaraan, perekonomian, kemasyarakatan, sejarah, keTuhanan dan lain sebagainya. Perpustakaannya meliputi kurang lebih 3500 buku tentang berbagai ilmu pengetahuan. Dia kemudian berhasil mendapat ijasah Klein Ambtenaar.
Karena dipandang terlalu "lastig" (membuat onar) di dalam masyarakat Yogyakarta atas usaha asisten residen, ia "dibuang" ke Tuban, Gresik sebagai pegawai di Controleurs-Kantoor. Di sini ia membela teman pegawainya hingga menempeleng atasannya (seorang Belanda). Ia minta berhenti dan segera pulang kembali ke Yogyakarta. Untuk menghindari tindakan hukum pemerintah Hindia Belanda atas dirinya, pamannya, Pangeran Sasraningrat, yang berpangkat gusti wakil, mengangkatnya menjadi wedana sentana dengan titel panji di Praja Pakualaman.
Karena masih dianggap sebagai "pengganggu", asisten residen "membuang" ia ke Bogor dengan alasan disekolahkan pada Sekolah Pertanian (Europesche Afdeling) dengan surat tugas langsung ditandatangani Gubernur Jenderal sebagai "izin istimewa". Disini ia tinggal di rumah orang Belanda bernama van Hinllopen Laberton yang menganut ajaran teosofi yang membenci penjajahan dan perbedaan hak bangsa-bangsa. Soerjopranoto merasa menemukan sahabat, guru, kawan, dan orangtua sekaligus. Pada tahun 1907 ia berhasil mendapat ijasah Landbouwkundige dan Landbouw-leraar.
Disamping itu ia memahirkan diri dalam bela diri yaitu kuntau dan toya dari seorang Tionghoa asal Kanton.
Pada masa ini ketika ayahnya menugaskan dia mengurus adiknya, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk Sekolah Dokter Stovia di Jakarta ia menitipkan surat pada adiknya dengan ajakan atas nama pemuda masyarakat dan pelajar-pelajar Bogor kepada student Stovia untuk mendirikan perkumpulan "Pirukunan Jawi" yang boleh dianggap sebagai voorloper (pendahulu) dari ide mendirikan "Boedi Oetomo". Tapi ajakannya itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan.
Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 ia dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo, Dieng, Batus dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau berkedudukan di Kejajar Garung kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus merangkap juga pekerjaan memimpin sekolah pertanian.
Berhubung ada kejadian di Parakan (Temanggung) pada tahun 1914, dimana seorang asisten wedana, yang anggota Sarekat Islam, dipecat dari pekerjaannya karena keanggotaannya itu, maka ia sebagai pembela keadilan dengan protes keras menyobek-nyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan melemparkannya bersama bundelan kunci di hadapan residen Belanda atasannya sambil kontan minta berhenti.
Selanjutnya ia bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintah penjajah Belanda untuk selama-lamanya, dan memberikan seluruh tenaga dan pikirannya pada perjuangan pergerakan politik menentang penjajahan.
Aktivitas dalam Pergerakan
Soerjopranoto pada zaman pergerakan politik aktif dalam beberapa pergerakan antara lain:
Boedi Oetomo
Sepulangnya ke Yogyakarta pada tahun 1908 ia menggabungkan diri pada perkumpulan "Boedi Oetomo". Segera ia diangkat menjadi Sekretasis Pengurus Besar Boedi Oetomo berkedudukan di Yogyakarta (periode setelah Dwidjosewojo).
Perasuransian Jiwa O.L.Mij Boemi Poetera (awalnya Onderlonge Levensverzekering Maatschappij PGHB)
Dalam periode ini untuk mendirikan Maskapai Asuransi Jiwa dikemukakan oleh Pak Dwidjosewojo dalam Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta akhir tahun 1910.
Kongres menerimanya dengan aklamasi tetapi pelaksanaannya tertunda-tunda. Kemudian pada permulaan tahun 1912 Pak Dwidjosewojo mengemukakan ide itu kepada Kongres Perserikatan Guru-Guru Hindia Belanda (PGHB) di Magelang. Usul itu diterima dengan gembira pada tanggal 12 Februari 1912, Dengan nama "Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB". Karena beratnya biaya, sedang verzekerden belum banyak yang masuk, maka pengurus mengajukan permohonan supaya diberi subsidi sebesar F 300 (tigaratus gulden) dengan syarat bahwa Maskapai hanya dibuka untuk pegawai negeri bangsa bumi putera. Dewan Komisaris pada masa itu dibentuk yang terdiri dari R.M. Dwidjosewojo, R. Sastrowidjono, R.M. Soerjopranoto dan Dr. R. Soestandar yang tidak menerima honorarium apa-apa. Seka itu namanya diubah menjadi O.L.Mij Bumi Putera.
Barisan Kerja (=Arbeids leger) Adhi Dharma
Tidak puas bergerak dalam Boedi Oetomo karena tidak bersifat kerakyatan dan tidak revolusioner, ia minta diri keluar setelah usulnya untuk mendinamisir menjadi pergerakan rakyat ditolak.
Soerjopranoto tidak tinggal diam, ia memperluas aktivitasnya sendiri langsung dikalangan rakyat jelata dengan mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (Barisan Kerja A.D) Pada tahun 1915 di Yogyakarta yang organisasinya disusun seperti di dalam ketentaraan ("eenstrijdend leger") sampai kepelosok-pelosok dusun, di lereng-lereng dan di puncak-puncak gunung ada wakil-wakilnya.
Anggotanya diberi pangkat seperti dalam kemiliteran. Adhi Dharma (=kebaktian yang luhur) bergerak di ekonomi. Usaha-usahanya a.l : meliput tabungan, koperasi pertukangan, pendidikan, kesehatan perbantuan nasihat hukum dan kesemua usahanya didasarkan atas gotong royong.
Selain itu ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat umum (rakyat kecil pada khususnya) yaitu S.R.-S.M.P.-Sekolah Guru-Schakel-School.
Kegiatannya yang lain adalah mengadakan ceramah-ceramah/diskusi-diskusi tentang soal-soal kemasyarakatan dan pergerakan. Hasilnya antara lain timbulnya Yong Islamieten Bond dengan ketuanya Sjamsuridjal yang adalah adik bungsu dari ibu Soerjopranoto, yang dikemudian hari menjadi walikota (Gubernur) pertama Jakarta.
Beberapa usahanya yang lain antara lain mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf dan kerajinan tangan bagi kaum wanita yang diadakan pada tiap sore hari Jumat khusus untuk menampung wanita-wanita desa (luar kota) yang pulang dari berdagang di pasar.
Dia juga membuka biro-biro penasihat hukum, khusus diperuntukkan bagi orang-orang desa, yang ketika itu kurang terpelajar, sehingga mudah ditipu dan diperlakukan sewenang-wenang oleh para pegawai Pangreh-praja. Pada masa ini ia menerbitkan buku "Pemimpin Landraad Civiel" yang berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Untuk membantu rakyat umum, didirikan koperasi gotong-royong dengan nama "Mardi Kaskoyo" yang terbuka bagi para keluarga kaum pergerakan dan rakyat umum.
Selain itu ia mendirikan penerbitan penyuluhan "Medan Budiman". Dalam periode Adhi Dharma pada menerbitkan buku kecil berjudul " kekuatan bathin" (de kracht die overwint).
Karena pertumbuhan Adi Dharma pesat dan besar luas pengaruhnya, lagi terang-terangan aksi-aksinya dalam membela keadilan terhadap kesewenang-wenangan alat-alat pemerintah Hindia Belanda sampai mirip suatu aksi politik, maka arbeidsleger Adhi Dharma dilarang, kantor-kantor Markas Besarnya dijaga polisi untuk mencegah dan menakut-nakuti anggota-anggotanya berkunjung, para pengurusnya dibayangi oleh dinas reserse polisi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada pokoknya Barisan Kerja Adhi Dharma kena pukulan yang hebat bagi semua badan-badan pendirinya. Akan tetapi B.K.A.D bagaimanapun juga telah berhasil :
- menggugah jiwa rakyat kecil akan kesadaran harga dirinya.
- merupakan persiapan penggalangan gerakan rakyat jelata, gerakan buruh dan tani terbukti dalam periode berdirinya Personeel Fabrick Bond (gula) tahun 1917, Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumi Putera, Serikat Buruh Pegawai Jawatan Candu dan Garam dll.
baca buku karangan Prof. Pringgodigdo berjudul : " Sejarah pergerakan Politik".
Partai Sarikat Islam
Ia masuk Partai Sarekat Islam pada tahun 1911 dan karena keaktifannya segera menjadi anggota Pucuk Pimpinan. Begitu aktif, tangkas dan beraninya, sehingga ia menduduki tempat sebagai pembantu Tjokroaminoto yang utama. Soerjopranoto menjadi orang kedua di dalam partai. Dalam kursus-kursus partai yang secara periodik diselenggarakan di jalan Kepatihan Pakualaman Yogyakarta, ia adalah seorang gurunya. Menurut Hamka, yang memberikan pelajaran ialah H. Fachruddin, Soerjopranoto (dalam ilmu Sosiologi) dan Tjokroaminoto (Sosialisme dan Islam).
Dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919 Soerjopranoto mengemukakan, bahwa kemenangan klas dan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata tetapi bisa secara moral, protes-protes, dan jika perlu dengan "pemogokan", kesemua itu harus dilakukan secara serentak. Soerjopranoto dikemudian hari memimpin suatu pemogokan umum dikalangan kaum pekerja pabrik-pabrik gula yang bergabung dalam Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia pada tahun 1917 P.F.B. ( Personeel Fabrieks Bond) di jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan ini yang pertama kali pada tanggal 20 Agustus 1920 di pabrik gula madu Kismo. Dengan perbuatan ini Soerjopranoto melaksanakan teori pada praktiknya. Pemogokan ini begitu luas dan hebat sehingga oleh " De Express" ia disebut "De stakings Koning" (=Raja Pemogokan). Yang dihadapi sebagai lawan pada waktu itu adalah P.E.B. (Politiek Economische Bond) dibawah pimpinan Engelenberg dan Brugers (kumpulannya Tuan-Tuan Pabrik).
Sebagai ide tentang bentuk ketatanegaraan telah dikemukakan pula dalam kongres tersebut. Suatu sentral Serikat Sekerja yang terdiri dari buruh dan buruh tani akan menjadi "Eerste Kamer" dari perwakilan rakyat,sedang "Tweede Kamer"nya merupakan perwakilan partai-partai politik. Kedua Kamer ini yang akan merupakan "Dewan Rakyat" yang sesungguhnya, yang akan dapat mempersatukan tenaga untuk beraksi menentang modal dari penjajah asing.
Ketika pada tahun 1908 Dr. E.F.E.Douwes Dekker (1879-1950) seorang indi yang berayah Belanda dan ibu Jawa, berhasil menggeser kedudukan Zaalberg (Hoofd-redakteur yang reaksioner) menjadi pemimpin redaksi dari "Bataviaasch-Nieuwsblad" maka ia segera memasukkan pembantu-pembantu tetapnya, orang-orang pergerakan seperti Soerjopranoto, Tjokrodirdjo, Dr. Tjipto dan Goenawan Mangunkusumo dan lain lain.
Ini dalah suatu infiltrasi yang amat efektif dan merupakan jasa pertama dari Dr. E.F.E. douwes Dekker (alias Danudirdja Setiabudhi), seorang kerabat jauh E. Douwes Dekker (Multatuli).
Sesuai dengan rencana perjuangan SI maka didirikanlah perhimpunan-perhimpunan buruh. Program ini menjadi tanggung jawab Soerjopranoto dan ia pun menjadi pemimpin :
- Opium-regie Bond
- Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (P.P.P.B) mulai periode Sosrokardono.
- Personeel Fabrieks Bond (P.F.B) yang dalam tahun 1912 mengadakan pemogokan atas modal gula di onderneming-onderneming Belanda.
- Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (P.P.K.B), mulai dari Abdul Noeis, Semaoen dan H. Agus Salim. Ini organisasi gabungan dari 22 Sarekat Buruh.
- Redaksi "Fajar" kemudian "Mustika" (sesudah H. Agus Salim) kemudian juga Redaksi "Pahlawan", (Kaderblad dari Opium-regie Bond) dan "Suara Berkelahi" (Kaderblad dari P.P.K.B).
Selama menjadi orang partai Sarekat Islam ia pernah masuk penjara sampai tiga kali karena spreek-delict dan tak terhitung lagi pembredelan dan pembeslahan atas hasil tulisan-tulisannya. Sekali ia dipenjarakan di Malang (1923-3 bulan), kedua di Semarang (1926-6 bulan) dan ketiga kalinya di Bandung(Sukamiskin) selama 16 bulan (1933), dengan peringatan untuk keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan.
Pada era 1932 sampai dengan 1936, ironis sekali bahwa Soerjopranoto yang ikut membesarkan SI melalui berbagai krisis pada tahun 1933 malah diskors bersama dr. Soekiman Wirjosandjojo oleh Tjokroaminoto dan Salim karena membongkar korupsi. Dikemudian hari skorsing dicabut dan mereka berdua kemudian mendirikan Partai Islam Indonesia (PII). Tetapi dalam partai ini ia tidak pernah aktif karena agaknya merasa kecelok (salah kira) sebab asas dan programnya ternyata sangat jauh dari apa yang diangan-angankan sebelumnya.
Pada era 1932 sampai dengan 1936, ironis sekali bahwa Soerjopranoto yang ikut membesarkan SI melalui berbagai krisis pada tahun 1933 malah diskors bersama dr. Soekiman Wirjosandjojo oleh Tjokroaminoto dan Salim karena membongkar korupsi. Dikemudian hari skorsing dicabut dan mereka berdua kemudian mendirikan Partai Islam Indonesia (PII). Tetapi dalam partai ini ia tidak pernah aktif karena agaknya merasa kecelok (salah kira) sebab asas dan programnya ternyata sangat jauh dari apa yang diangan-angankan sebelumnya.
Tenaga dan pikirannya terutama dicurahkan untuk kemajuan P.P.P.B, Opium Regir Bond, dan sekolah Adhi Dharma Institut (didirikan tahun 1917 di Yogyakarta, dulu cabangnya di Malang, Surabaya, dan Magelang serta Kotaraja). Antara tahun 1933 dan 1935 masuk dipenjara Sukamiskin karena pers delict berhubung dengan tulisan-tulisannya dalam buku ensiklopedia yang ditulis secara jelas sederhana untuk rakyat jelata tetapi sifat isinya mencela pedas dan menggugat kejahatan Kapitalisme dan Kolonialisme dengan maksud supaya cepat meluas menggugah hati rakyat memberikan diri dalam menuntut akan hak-haknya.
Karena kesehatannya banyak sekali terganggu, sepulangdari Sukamiskin dan kekuatannya sudah mengurang kerena tambah tua, maka ia terpaksa membatasi diri dalam lapangan partai Islam Indonesia untuk lebih mencurahkan tenaga-pikirannya duna kemajuan sekolah Adhi Dharma. Institut juga memberi kursus-kursus sore dan malam tentang ilmu pengetahuan umum (ketata-negaraan,sejarah,ekonomi,etnologi,geografi) pada orang-orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang mampu membiayai pelajarannya tetapi mempunyai kecerdasan untuk hasrat yang lebih maju. Maksudnya ialah untuk mendapatkan pengalaman guna mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah. Akan tetapi kena rintangan onderwijsverbod (yang dicabut kembali dengan perantara tuan Gobius advisuer van Inlandse zaken).
Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah Adhi Dharma pada zaman Jepang dibubarkan dan partai-partai dilarang maka ia kemudian menjadi guru (sampai 1947) ditaman tani "Taman Siswa" yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk menhindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang. Dalam masa ini ia juga menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam D.P.A).
Era setelah Kemerdekaan
Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru Taman Siswa, ia tidak sedikit memberi kursus-kursus kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-loos. Pada waktu itu ia menerbitkan dua buku : satu tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang ilmu Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah pengetahuan dan pengertian dasar pada golongan pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang sedang berjuang melaksanakan perang kemerdekaan.
Pada era 1949 sampai dengan 1958 ia sudah berhenti sama sekali dari aktivitas dan kesibukan bekerja dan hanya menjadi :
Pada tanggal 15 Oktober 1959 jam 24.00 ia meninggal dunia disebabkan usianya yang sudah 88 tahun di Cimahi, Jawa Barat. Pada tanggal 17 Oktober 1959, jenazah dikebumikan dimakam keluarga "Rachmat Jati" di Kota Gede Yogyakarta dengan upacara pamakaman sebagai Perwira Tinggi.
Dengan keputusan Presiden ia diangkat sebagai :
Pada semasa hidupnya ia beristrikan seorang puteri bernama R.A. Djauharin Insijah, puteri seorang Penghulu Agama Islam dari Karanganyar-Banyumas H. Abdussakur yang pada waktu itu menjabat ketua Dewan Agama daerah Banyumas. Ibu Soerjopranoto ini adalah puteri yang sangat saleh dan tebal imannya serta kuat rasa keagamaannya.
Karena kesehatannya banyak sekali terganggu, sepulangdari Sukamiskin dan kekuatannya sudah mengurang kerena tambah tua, maka ia terpaksa membatasi diri dalam lapangan partai Islam Indonesia untuk lebih mencurahkan tenaga-pikirannya duna kemajuan sekolah Adhi Dharma. Institut juga memberi kursus-kursus sore dan malam tentang ilmu pengetahuan umum (ketata-negaraan,sejarah,ekonomi,etnologi,geografi) pada orang-orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang mampu membiayai pelajarannya tetapi mempunyai kecerdasan untuk hasrat yang lebih maju. Maksudnya ialah untuk mendapatkan pengalaman guna mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah. Akan tetapi kena rintangan onderwijsverbod (yang dicabut kembali dengan perantara tuan Gobius advisuer van Inlandse zaken).
Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah Adhi Dharma pada zaman Jepang dibubarkan dan partai-partai dilarang maka ia kemudian menjadi guru (sampai 1947) ditaman tani "Taman Siswa" yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk menhindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang. Dalam masa ini ia juga menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam D.P.A).
Era setelah Kemerdekaan
Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru Taman Siswa, ia tidak sedikit memberi kursus-kursus kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-loos. Pada waktu itu ia menerbitkan dua buku : satu tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang ilmu Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah pengetahuan dan pengertian dasar pada golongan pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang sedang berjuang melaksanakan perang kemerdekaan.
Pada era 1949 sampai dengan 1958 ia sudah berhenti sama sekali dari aktivitas dan kesibukan bekerja dan hanya menjadi :
- Simpatisan P.S.I.I dan simpatisan aliran politik yang progresif dan cinta tanah air.
- Anggota kehormatan Kongres Rakyat
Pada tanggal 15 Oktober 1959 jam 24.00 ia meninggal dunia disebabkan usianya yang sudah 88 tahun di Cimahi, Jawa Barat. Pada tanggal 17 Oktober 1959, jenazah dikebumikan dimakam keluarga "Rachmat Jati" di Kota Gede Yogyakarta dengan upacara pamakaman sebagai Perwira Tinggi.
Dengan keputusan Presiden ia diangkat sebagai :
- Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI (Kep. Presiden RI No. 310)
- Mahaputra, tingkat II Republik Indonesia (17 Agustus 1960, dianugerahi secara anumerta).
Pada semasa hidupnya ia beristrikan seorang puteri bernama R.A. Djauharin Insijah, puteri seorang Penghulu Agama Islam dari Karanganyar-Banyumas H. Abdussakur yang pada waktu itu menjabat ketua Dewan Agama daerah Banyumas. Ibu Soerjopranoto ini adalah puteri yang sangat saleh dan tebal imannya serta kuat rasa keagamaannya.
Dalam hidupnya sebagai Ibu yang banyak anaknya ia tetap setoa dalam kegembiraannya dengan apa adanya. Dalam masa remajanya dilahirkan dalam keluarga yang sangat berada, kini ia harus menjalani kehidupan sebagai istri dari seorang pejuang yang keras, yang tak kenal kompromi itu. Meskipun begitu ia dapat menyesuaikan diri bahkan mendampinginya sedapat-dapatnya dengan "jiwanya" yang penuh iman itu.
Hidup dalam keadaan yang amat sederhana, serta kekurangan boleh dikatakan terpencil (banyak orang yang takut bergaul) karena mudah dituiduh sebagai golongan pemberontak anti Belanda atau komunis karena sangat radikal, suaminya keluar masuk penjara, karena kerap tersangkut perkara-perkara politik (seluruhnya 6 kali - 3 kali dalam perkara-perkara besar) suatu kehidupan yang berketentuan dengan harus memelihara banyak anak, para pemmbaca dapat membayangkan betapa sulitnya baginya ini. Ia dapat mengalami perjalanan sejarah bangsa hingga tahun 1951. Jadi setelah pengunduran tentara Belanda dari Yogyakarta dan keamanan agak pulih kembali, dalam keadaan tentram, setelah lama menderita penyakit jantung dan darah rendah.
Dalam hidupnya ia besar jasanya untuk kepentingan rakyat sekitar kampung tempat tinggalnya. Banyaklah amal yang ditinggalkan sebagai seorang Muslimat yang saleh sebagai manusia biasa, kasih sayang pada sesama. Banyaklah yang mengantar jenazahnya sampai ke Pemakaman Keluarga (Rachmat-Jati" di Gambiran (Kota Gede) Yogyakarta. Banyak yang ditinggalkannya, mengenangkan kesuciannya, kesetiaannya serta keteguhannya, dan sahabat-sahabatnya yang meneteskan air mata karena rasa haru. Ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1951.
Beberapa ucapan dari kawan-kawan seperjuangannya :
Hidup dalam keadaan yang amat sederhana, serta kekurangan boleh dikatakan terpencil (banyak orang yang takut bergaul) karena mudah dituiduh sebagai golongan pemberontak anti Belanda atau komunis karena sangat radikal, suaminya keluar masuk penjara, karena kerap tersangkut perkara-perkara politik (seluruhnya 6 kali - 3 kali dalam perkara-perkara besar) suatu kehidupan yang berketentuan dengan harus memelihara banyak anak, para pemmbaca dapat membayangkan betapa sulitnya baginya ini. Ia dapat mengalami perjalanan sejarah bangsa hingga tahun 1951. Jadi setelah pengunduran tentara Belanda dari Yogyakarta dan keamanan agak pulih kembali, dalam keadaan tentram, setelah lama menderita penyakit jantung dan darah rendah.
Dalam hidupnya ia besar jasanya untuk kepentingan rakyat sekitar kampung tempat tinggalnya. Banyaklah amal yang ditinggalkan sebagai seorang Muslimat yang saleh sebagai manusia biasa, kasih sayang pada sesama. Banyaklah yang mengantar jenazahnya sampai ke Pemakaman Keluarga (Rachmat-Jati" di Gambiran (Kota Gede) Yogyakarta. Banyak yang ditinggalkannya, mengenangkan kesuciannya, kesetiaannya serta keteguhannya, dan sahabat-sahabatnya yang meneteskan air mata karena rasa haru. Ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1951.
Beberapa ucapan dari kawan-kawan seperjuangannya :
Bapak ALIMIN : (Dalam bukunya " Riwayat Hidupku"). Soerjapranoto meskipun ia tidak ada hubungan politik yang bersangkutan dengan PKI, saya tetap menghargai jasa-jasanya dihari-hari yang lampau. Soerjopranoto adalah satu-satunya orang dari kalangan Kaum Ningrat yang pertama-tama berjuang di tengah-tengah massa. Kira-kira dalam tahun 1914/1916 ia mengorganisir gerakan-gerakan umum (yang pertama kalinya di Indonesia) pun diseluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga ia mendapat julukan "Raja Pemogokan (De Staking Koning). Soerjopranoto sangat digemari oleh para warga Sarekat Islam. Soerjopranoto adalah orang yang kedua dalam kalangan SI sesudah H.O.S. Cokroaminoto. Saya mengenal Soerjopranoto sebagai seorang yang sangat sederhana, seorang yang terhindar daripada watak yang ijdel (congkak-penulis) dan boros.
Semaun : Soerjopranoto bukan anggota P.K.I (Semaun adalah pendiri P.K.I tetapi kemudian keluar dan mendirikan Partai Murba).
H. Van Kol : (Catatan dalam sebuah buku "De vak - vereniging") "Dit boek over de Vakvereniging Aangeboden door iemand, die ten volle sympathiseert men Uw streven het Lot der misbedeelden te verzachten - 5 Januari 1923. "Soerjopranoto.........een intensief, werkzaam en dadenrijk leven". Artinya, "Buku tentang pergerakan vak ini dipersembahkan padamu, oleh seorang yang menaruh simpati dengan perjuanganmu guna meringankan nasib rakyat yang dalam segala0galanya serba kekurangan dalam hidupnya. Voorschtenwijk 5 Januari 1923. Soerjopranoto........seorang yang intensif, bekerja keras dan hidupnya penuh dengan tindakan (Terjemahan penyusun).
K.H. Agus Salim : Hij is opliegend vanwege de reinheid zijner gedachten. (Dia cepat naik pitam karena kemurnian pikirannya). Bersama KH. Agus Salim, Soerjopranoto menjadi saah seorang pemimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang berpusat di Yogyakarta.
Zaalberg (redaktur Bataviaasch Niewsblad) : Dia meberi julukan untuk Soerjopranoto "de Javaanse Edelman met een ontembare wil" (bangsawan Jawa dengan tekad yang tak terjinakkan).
Pemerintah Belanda kewalahan menghadapi Soerjopranoto yang telah 3 kali dipenjara belum juga berkurang perlawanannya, akhirnya mereka mencoba menawarkan kedudukan yang tinggi sebagai anggota Volksraad melalui surat dari Meneer Resink. Soerjopranoto tertawa terbahak-bahak dan langsung membalas sebagai berikut :
"Waarde Heer Resink"
De strijd gat mij eerst om de harde klappen. Politieke tegenstellingen worden voorlopig nog op straat uitgevochten (Ia menolak duduk sebagai anggota).
Artinya : Tuan Resink Yth, Perjuangan kudasarkan terlebih dahulu untuk perkelahian. Politik yang masih simpang siur, sementara diselesaikan dengan perkelahian dijalan-jalan. (terjemahan penyusun).
Sesobek kertas yang isinya kutipan dicatat dari buku "Strijden en worstelen om de overwinning" isi seperti berikut : "In strijd of in Zaken, in alles wat gij doet, gelde een regel, als goud, ja zo gaat het de worsteling om macht wees dat uw motto : 'Vertrouw Uw eigen kracht'". Artinya : di dalam pergolakan atau sesuatu urusan, dalam segala hal yang kau perbuat, berlaku satu dasar, bagaikan emas, demikian tinggi nilainya, di dalam berjuang untuk sukses atau kekuasaan ini adalah semboyannya : "Percaya pada kekuatan diri sendiri" (terjemahan penyusun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar